Oleh : Rita Apriani
1510631180131 / IP 4D
Ilmu Pemerintahan
Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang
PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA
INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM KASUS SIPADAN - LIGITAN
Indonesia
dan Malaysia memperebutkan kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan karena kedua
pulau tersebut memiliki letak geografis yang strategis dan sumber daya alamnya
berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek pariwisata. Kedua pulau tersebut
menjadi penting bagi Indonesia karena bisa dijadikan titik untuk menentukan
lebar laut wilayah, landas kontinen, dan zona ekonomi tetapi juga ketentuan
wilayah negara. Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia mencuat pada
tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing
– masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan – Ligitan ke dalam batas –
batas wilayahnya, Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah selama 33
tahun sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2001.[1] Konflik Pulau Sipadan –
Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern.
Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa
lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan
Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas
ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Dalam konteks modern sengketa
Pulau Sipadan – Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional
suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Titik klaim Pemerintahan
Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang yakni Perpu No. 4 tahun 1960
tentang Perairan Indonesia. Kelemahan Malaysia tampak pada peta yang
diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau
tersebut.[2]
Disini
saya mengambil beberapa teori yang pertama teori Diplomasi Menurut Schelling
menyatakan bahwa Diplomasi adalah tawar – menawar, berusaha untuk mendapatkan
hasil – hasil itu meskipun tidak ideal untuk salah satu pihak, dapat bersifat
sopan atau kasar, memerlukan ancaman serta negoisasi, menganggap status quo atau mengabaikan semua hak
dan hak istimewa, dan menganggap ketidakpercayaan daripada kepercayaan.[3] Upaya penyelesaian
sengketa melalui Perundingan Bilateral. Dalam perundingan ini yang akan merumuskan batas – batas
wilayah Indonesia dan Malaysia itu ternyata belum diketahui secara jelas
kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan. Proses pelaksanaan perundingan ini antara
Indonesia dan Malaysia belum ditentukan negara mana yang mempunyai hak atas
kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan. Akhirnya pada tahap akhir perundingan
tanggal 22 September 1969 kedua negara membuat kesepakatan bahwa Pulau Sipadan
– Ligitan dinyatakan dalam posisi status
quo bahwa Pulau Sipadan – Ligitan tidak boleh ditempati dan sisusuki oleh
pihak manapun baik Indonesia maupun Malaysia, yaitu daerah tanpa kekuasaan
dimana tidak akan menempati, menduduki dan mengelola Pulau Sipadan – Ligitan. [4] Akan tetapi ternyata
pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia
membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia
memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia dengan strategi fair play mengartikan bahwa dalam status ini berarti
status kedua pulau tadi tidak boleh di tempati atau di duduki sampai persoalan
atas kepemilikan dua pulau ini selesai.[5] Tahun 1969 pihak Malaysia
secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut kedalam peta Nasionalnya. Pada
tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad menginginkan
pembagian “fifty- fifty” terhadap
kepulauan tersebut. Pada kenyataannya Presiden Soeharto yang tanpa dukungan
bukti – bukti sangat percaya diri untuk memperkarakan permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan melalui jalur hukum dengan membawa
permasalahan ke Mahkamah Internsional ( International Court of Justice atau ICJ
) keduan negara sepakat untuk mengangkat utusan kasus ini dari masing – masing
negara untuk mencari solusi alternatif, dengan merekomendasikan agar perlu
adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (IJC). [6]
Dalam Kebijakan Politik Luar negeri kebijakan suatu negara yang ditujukan ke
negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum politik luar
negeri merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta untuk
mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam
percaturan dunia Internasional.[7] Dalam permasalahan
sengketa Pulau Sipadan – Ligitan kebijakan politik luar negeri tidak dapat
dihasilkan dengan baik disebabkan. Pertama,
Politik luar negeri yang di jalankan
oleh pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabadikan untuk
kepentingan nasional. Kedua, opini
dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan
respon atau tanggapan dari pemerintah. Ketiga,
berubahnya struktur pengambilan keutusan dimana pemerintah bukan lagi
merupakan satu – satunya aktor dalam sebuah pertandingan bilateral untuk
memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Dimana antara
pemerintah dengan DPRD RI tidak berjalan secara sinergis dalam merumuskan kebijakan
politik luar negeri yang di keluarkan oleh pemerintah yang nantinya akan
dijadikan landasan dalam melaksanakan perundingan bilateral sebagai upaya
politik untuk memperoleh kedaulatan wilayah atas pulau Sipadan – Lgitan,[8] Dalam kasus lepasnya Pulau
Sipadan – Ligitan jelas bahwa peran kebijakan politik pemerintahan Indonesia
tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan kebijakan politik Indonesia
yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.
Dalam
teori realisme politik internasional menurut Hans J. Morgenthau[9] dicirikan oleh tiga hal :
1. Negara
dan Politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, unit analisis dan
tingkat analisis dikenalkan pada negara – negara sebagai aktor utama dalam
panggung politik internasional. Negara dan politik luar negerinya merupakan
unit dalam tingkat analisanya.
2. Konsep
power, bahwa tingkah laku negara –
negara dipanggung politik Internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas
perjuangannya untuk memelihara, meningkatkan serta menunjukkan powernya.
3. Konsep
Balance of power, pola interaksi
hubungan antar negara yang sama – sama berjuang untuk memelihara, meningkatkan
dan menunjukkan powernya digunakan konsep perimbangan kekuatan (balance of power).
Dalam
permasalahan sengketa pulau Sipadan – Ligitan antara Indonesia dan Malaysia,
realisme politik yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia tidak berjalan
dengan baik sehingga perumusan suatu kebijakan politik tidak dapat terlaksana
dengan baik. Sesuai dengan teori realisme strategi seharusnya pemerintah
Indonesia lebih meningkatkan strategi militernya, karena menurut teori Realisme
militer sebagai alat untuk perdamaian, sesuai teori realisme dan adanya dilema
keamanan yang menyatakan bahwa ketika negara tidak mempunyai militer negara
tersebut takut untuk diserang tetapi ketika negara meningkatkan militernya maka
akan memunculkan kecurigaan dari negara lain disebut balance of power.
Dalam hukum Internasional bahwa keseluruhan kaidah – kaidah dan asas – asas
yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas – batas negara,
antarnegara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.[10] Sengketa Pulau Sipadan –
Ligitan dilakukan dengan cara arbritasi dan negoisasi dengan membawa
penyelesaian permasalahan sengketa ke
Mahkamah Internasional (ICJ).
Pertimbangan
utama yang dipertimbangkan mahkamah Internasional[11] :
1. Dalil
effectivite yang telah diajukan oleh
Indonesia dan Malaysia sebagai pertimbangan untuk memutuskan siapa yang paling
berhak memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan – Ligitan (tindakan
administratif, peraturan hukum, dll).
2. Continuous Presence (pemeliharaan
terus-menerus oleh pemerintah Malaysia setelah ditinggalkan pemerintah Inggris)
3. Ecology Preservation
(pelestarian alam)
4. Perscreption
(tidak menelantarkan wilayah)
Pada
selasa 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan kasus
sengketa kedaulatan Pulau Sipadan – Ligitan antara negara Indonesia dan
Malaysia. Hasilnya dalam voting di lembaga itu bahwa Malaysia dimenangkan oleh
16 hakim sementara hanya satu yang berpihak kepada Indonesia. Maka Indonesia
harus menerima konsekuensinya dengan melakukan beberapa perubahan yakni revisi
PP No. 38 Tahun 2002, menentukan rencana posisi titik – titik garis pangkal
yang baru disekitar perairan Sulawesi dan membuat rencana lebar laut
teritorial.
Menurut
saya dilihat dari permasalahan lepasnya pulau Sipadan – Ligitan menyadarkan Indonesia untuk melakukan strategi kebijakan dengan pembangunan pengamanan TNI AL dan perkembangan pengelolaan wilayah perbatasan menjadi objek wisata juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan SDA yg melimpah karena dengan itu masyarakat diwilayah tersebut akan merasa di perhatikan dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas penjagaan di daerah – daerah
perbatasan terutama penjagaan TNI harus lebih tegas dalam menangani dan
mengawasi pulau – pulau terutama di perbatasan karena dengan kekuatan militer
kita yang besar maka negara lain akan takut pada kita dan tidak berani mencari
masalah dengan kita bahkan merebut pulau – pulau kecil yang Indonesia miliki dan pemerintah Indonesia harus lebih
memperhatikan pulau – pulau kecil terluar di wilayah Indonesia yang tidak
berpenghuni untuk di masukan dalam peta Indonesia dan di sahkan dalam peraturan
perundang – undangan di Indonesia untuk menegaskan bahwa pulau – pulau tersebut
milik Indonesia karena kita ketahui lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan pun
diakibatkan dari pertimbangan Mahkamah Internasional bahwa Indonesia tidak
memiliki effective occupation yakni
peraturan hukum yang menegaskan bahwa Pulau Sipadan – Ligitan termasuk ke dalam
wilayah Indonesia .
Tidak
terlepas dari itu pemerintah juga harus memperhatikan dan mengelola pulau – pulau kecil terluar di
wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara lain agar dunia Internasional
tahu bahwa Indonesia memperhatikan juga mengelola semua pulau – pulau kecil terluar
di wilayah Indonesia tidak hanya memperhatikan pengelolaan pulau – pulau besar
saja. Karena kita ketahui pulau – pulau kecil di daerah perbatasan yang
merupakan pulau yang termasuk dalam wilayah Indonesia memiliki potensi alam dan
keindahan alam yang luar biasa maka mungkin saja negara lain akan berniat
merebut pulau – pulau tersebut oleh karena itu Indonesia harus lebih
memperhatikan dalam hal kekuatan militer dan peraturan hukum yang menegaskan
pulau – pulau tersebut milik Indonesia dan mengelola pulau – tersebut agar
tidak di rebut oleh negara lain. Oleh karena itu permasalahan sengketa kepemilikan
pulau Sipadan – Ligitan hendaknya menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia
dalam mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial terutama pulau – pulau
terluar Indonesia yang tidak berpenghuni.
[1] Aspiannor Masrie, Kasus Sipadan – Ligitan, dalam http://www.metronews.com
[2] Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, peranan
dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung : PT Alumni, hlm 280.
[3] Fauzan Maghribi Rachmat, 2015, Diplomasi, dalam https://fauzan-maghribi-rachmat-fisip-14. Diakses pada 09 Mei 2017
[4] Op cit, Boer Mauna.
[5] Kurniawan Setyanto, 2012, Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar
Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan dari Indonesia Tahun 2002
dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan, Jakarta : Universitas
Indonesia
[6] Ibid.
[7] Wolfram F. Hanrieder, 1971, Comparative Foreign Policy : Theoretical Essays, New York: DavidMcKay
Co, hlm 15.
[8] Op cit, Kurniawan Setyanto.
[9] Antonius Sitepu, Teori Realisme Politik Hans. J. Morgenthau
Dalam Studi Politik dan Hubungan Internasional, hlm. 52.
[10] Prof. DR. Kusumaatmadja, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta :
PT.Bina Cipta.
[11] Abdul Irsan, 2009, pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus
Sipadan dan Ligitan, Jakarta : Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen
Volume v No. 27, hlm 253.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar