Sabtu, 13 Mei 2017

LEPASNYA PULAU SIPADAN - LIGITAN



Oleh : Rita Apriani
1510631180131 / IP 4D
Ilmu Pemerintahan
Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang




PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM KASUS SIPADAN - LIGITAN


Indonesia dan Malaysia memperebutkan kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan karena kedua pulau tersebut memiliki letak geografis yang strategis dan sumber daya alamnya berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek pariwisata. Kedua pulau tersebut menjadi penting bagi Indonesia karena bisa dijadikan titik untuk menentukan lebar laut wilayah, landas kontinen, dan zona ekonomi tetapi juga ketentuan wilayah negara. Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing – masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan – Ligitan ke dalam batas – batas wilayahnya, Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah selama 33 tahun sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2001.[1] Konflik Pulau Sipadan – Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Dalam konteks modern sengketa Pulau Sipadan – Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Titik klaim Pemerintahan Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang yakni Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.[2]

Disini saya mengambil beberapa teori yang pertama teori Diplomasi Menurut Schelling menyatakan bahwa Diplomasi adalah tawar – menawar, berusaha untuk mendapatkan hasil – hasil itu meskipun tidak ideal untuk salah satu pihak, dapat bersifat sopan atau kasar, memerlukan ancaman serta negoisasi, menganggap status quo atau mengabaikan semua hak dan hak istimewa, dan menganggap ketidakpercayaan daripada kepercayaan.[3] Upaya penyelesaian sengketa melalui Perundingan Bilateral. Dalam perundingan  ini yang akan merumuskan batas – batas wilayah Indonesia dan Malaysia itu ternyata belum diketahui secara jelas kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan. Proses pelaksanaan perundingan ini antara Indonesia dan Malaysia belum ditentukan negara mana yang mempunyai hak atas kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan. Akhirnya pada tahap akhir perundingan tanggal 22 September 1969 kedua negara membuat kesepakatan bahwa Pulau Sipadan – Ligitan dinyatakan dalam posisi status quo bahwa Pulau Sipadan – Ligitan tidak boleh ditempati dan sisusuki oleh pihak manapun baik Indonesia maupun Malaysia, yaitu daerah tanpa kekuasaan dimana tidak akan menempati, menduduki dan mengelola Pulau Sipadan – Ligitan. [4] Akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda.  Pihak Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo  sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia dengan strategi fair play  mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh di tempati atau di duduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.[5] Tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut kedalam peta Nasionalnya. Pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad menginginkan pembagian “fifty- fifty” terhadap kepulauan tersebut. Pada kenyataannya Presiden Soeharto yang tanpa dukungan bukti – bukti sangat percaya diri untuk memperkarakan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan melalui jalur hukum dengan membawa permasalahan ke Mahkamah Internsional ( International Court of Justice atau ICJ ) keduan negara sepakat untuk mengangkat utusan kasus ini dari masing – masing negara untuk mencari solusi alternatif, dengan merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (IJC). [6]

Dalam Kebijakan Politik Luar negeri kebijakan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum politik luar negeri merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia Internasional.[7] Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan – Ligitan kebijakan politik luar negeri tidak dapat dihasilkan dengan baik disebabkan. Pertama,  Politik luar negeri yang di jalankan oleh pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabadikan untuk kepentingan nasional. Kedua, opini dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan respon atau tanggapan dari pemerintah. Ketiga, berubahnya struktur pengambilan keutusan dimana pemerintah bukan lagi merupakan satu – satunya aktor dalam sebuah pertandingan bilateral untuk memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Dimana antara pemerintah dengan DPRD RI tidak berjalan secara sinergis dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri yang di keluarkan oleh pemerintah yang nantinya akan dijadikan landasan dalam melaksanakan perundingan bilateral sebagai upaya politik untuk memperoleh kedaulatan wilayah atas pulau Sipadan – Lgitan,[8] Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan jelas bahwa peran kebijakan politik pemerintahan Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.

Dalam teori realisme politik internasional menurut Hans J. Morgenthau[9] dicirikan oleh tiga hal :
1.      Negara dan Politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, unit analisis dan tingkat analisis dikenalkan pada negara – negara sebagai aktor utama dalam panggung politik internasional. Negara dan politik luar negerinya merupakan unit dalam tingkat analisanya.
2.      Konsep power, bahwa tingkah laku negara – negara dipanggung politik Internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk memelihara, meningkatkan serta menunjukkan powernya.
3.      Konsep Balance of power, pola interaksi hubungan antar negara yang sama – sama berjuang untuk memelihara, meningkatkan dan menunjukkan powernya digunakan konsep perimbangan kekuatan (balance of power).
Dalam permasalahan sengketa pulau Sipadan – Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, realisme politik yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik sehingga perumusan suatu kebijakan politik tidak dapat terlaksana dengan baik. Sesuai dengan teori realisme strategi seharusnya pemerintah Indonesia lebih meningkatkan strategi militernya, karena menurut teori Realisme militer sebagai alat untuk perdamaian, sesuai teori realisme dan adanya dilema keamanan yang menyatakan bahwa ketika negara tidak mempunyai militer negara tersebut takut untuk diserang tetapi ketika negara meningkatkan militernya maka akan memunculkan kecurigaan dari negara lain disebut balance of power.

Dalam hukum Internasional bahwa keseluruhan kaidah – kaidah dan asas – asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas – batas negara, antarnegara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.[10] Sengketa Pulau Sipadan – Ligitan dilakukan dengan cara arbritasi dan negoisasi dengan membawa penyelesaian  permasalahan sengketa ke Mahkamah Internasional (ICJ).
Pertimbangan utama yang dipertimbangkan mahkamah Internasional[11] :
1.      Dalil effectivite yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia sebagai pertimbangan untuk memutuskan siapa yang paling berhak memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan – Ligitan (tindakan administratif, peraturan hukum, dll).
2.      Continuous Presence (pemeliharaan terus-menerus oleh pemerintah Malaysia setelah ditinggalkan pemerintah Inggris)
3.      Ecology Preservation (pelestarian alam)
4.      Perscreption (tidak menelantarkan wilayah)

Pada selasa 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan – Ligitan antara negara Indonesia dan Malaysia. Hasilnya dalam voting di lembaga itu bahwa Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim sementara hanya satu yang berpihak kepada Indonesia. Maka Indonesia harus menerima konsekuensinya dengan melakukan beberapa perubahan yakni revisi PP No. 38 Tahun 2002, menentukan rencana posisi titik – titik garis pangkal yang baru disekitar perairan Sulawesi dan membuat rencana lebar laut teritorial.

Menurut saya dilihat dari permasalahan lepasnya pulau Sipadan – Ligitan menyadarkan Indonesia untuk melakukan strategi kebijakan dengan pembangunan pengamanan TNI AL dan perkembangan pengelolaan wilayah perbatasan menjadi objek wisata juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan SDA yg melimpah karena dengan itu masyarakat diwilayah tersebut akan merasa di perhatikan dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas penjagaan di daerah – daerah perbatasan terutama penjagaan TNI harus lebih tegas dalam menangani dan mengawasi pulau – pulau terutama di perbatasan karena dengan kekuatan militer kita yang besar maka negara lain akan takut pada kita dan tidak berani mencari masalah dengan kita bahkan merebut pulau – pulau kecil yang Indonesia miliki dan pemerintah Indonesia harus lebih memperhatikan pulau – pulau kecil terluar di wilayah Indonesia yang tidak berpenghuni untuk di masukan dalam peta Indonesia dan di sahkan dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia untuk menegaskan bahwa pulau – pulau tersebut milik Indonesia karena kita ketahui lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan pun diakibatkan dari pertimbangan Mahkamah Internasional bahwa Indonesia tidak memiliki effective occupation yakni peraturan hukum yang menegaskan bahwa Pulau Sipadan – Ligitan termasuk ke dalam wilayah Indonesia .

Tidak terlepas dari itu pemerintah juga harus memperhatikan dan  mengelola pulau – pulau kecil terluar di wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara lain agar dunia Internasional tahu bahwa Indonesia memperhatikan juga mengelola semua pulau – pulau kecil terluar di wilayah Indonesia tidak hanya memperhatikan pengelolaan pulau – pulau besar saja. Karena kita ketahui pulau – pulau kecil di daerah perbatasan yang merupakan pulau yang termasuk dalam wilayah Indonesia memiliki potensi alam dan keindahan alam yang luar biasa maka mungkin saja negara lain akan berniat merebut pulau – pulau tersebut oleh karena itu Indonesia harus lebih memperhatikan dalam hal kekuatan militer dan peraturan hukum yang menegaskan pulau – pulau tersebut milik Indonesia dan mengelola pulau – tersebut agar tidak di rebut oleh negara lain. Oleh karena itu permasalahan sengketa kepemilikan pulau Sipadan – Ligitan hendaknya menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial terutama pulau – pulau terluar Indonesia yang tidak berpenghuni.






[1] Aspiannor Masrie, Kasus Sipadan – Ligitan, dalam http://www.metronews.com
[2] Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung : PT Alumni, hlm 280.
[3] Fauzan Maghribi Rachmat, 2015, Diplomasi, dalam https://fauzan-maghribi-rachmat-fisip-14. Diakses pada 09 Mei 2017
[4] Op cit, Boer Mauna.
[5] Kurniawan Setyanto, 2012, Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan, Jakarta : Universitas Indonesia
[6] Ibid.
[7] Wolfram F. Hanrieder, 1971, Comparative Foreign Policy : Theoretical Essays, New York: DavidMcKay Co, hlm 15.
[8] Op cit, Kurniawan Setyanto.
[9] Antonius Sitepu, Teori Realisme Politik Hans. J. Morgenthau Dalam Studi Politik dan Hubungan Internasional, hlm. 52.
[10] Prof. DR. Kusumaatmadja, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : PT.Bina Cipta.
[11] Abdul Irsan, 2009, pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan, Jakarta : Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen Volume v No. 27, hlm 253.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar