Oleh : Rita Apriani
1510631180131 / IP 4D
Ilmu Pemerintahan
Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang
KONFLIK
PERAIRAN AMBALAT DALAM TEORI HUKUM INTERNASIONAL
Blok
Ambalat terletak di laut Sulawesi atau selat Makasar yang secara geografis
langsung berbatasan dengan negara Malaysia dan kaya akan potensi sumber daya
alam yang diperkirakan mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat
dimanfaatkan 30 tahun ke depan sehingga menjadikan Blok Ambalat menjadi rawan
konflik.[1] Wilayah Blok Ambalat
merupakan milik Indonesia, hal ini berdasarkan bukti penandatanganan Perjanjian
Tapal Batas Kontinen Indonesia – Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang
ditandatangani di Kuala Lumpur yang kemudian diratifikasi pada tanggal 7
November 1969.[2]
Hal inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat berada di bawah
kepemilikan Indonesia. Penyelesaian sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan
Malaysia, menurut hukum Internasional harus dilakukan secara damai.[3]
Tahun
1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan
maritim dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan dan
secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukkan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya
yaitu dengan memajukan koordinat 4º 10' arah utara melewati pulau sebatik.
Tentu peta inipun diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia dengan berkali
– kali pihak Malaysia membuat sendiri peta sendiri padahal telah adanya
perjanjian – perjanjian tapal batas laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970,
masyarakat Indonesia melihatnya sebagai perbuatan secara terus – menerus dari
pihak Malaysia seperti ingin melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Pihak
Malaysia, Petronas memberikan konsesi eksplorasi minyak kepada perusahaan Shell
pada Februari 2005. Pada 3 Juni 2009 Krisis blok Ambalat antara pemerintah
Indonesia dan Malaysia terus memanas, sebanyak 13 kali kapal dan pesawat
angkatan tentara Malaysia memasuki wilayah kedaulatan Indonesia di Ambalat
Kalimantan Timur, Sejak Januari 2009 hal ini mengundang keseriusan bagi
Indonesia untuk menegakkan kedaulatan di blok Ambalat. Sebab itu, DPR bersama
Parlemen Belanda mengadakan pertemuan untuk membahas kerjasama pemenuhan
kebutuhan kapal perang canggih untuk pertahanan keamanan dan menjaga kedaulatan
NKRI.[4]
Alternatif
penyelesaian sengketa Ambalatn dengan menggunakan teori Hukum Internasional[5] menyediakan berbagai
metode dalam rangka penyelesaian sengketa hukum laut:
1. Penyelesaian
Sengketa secara damai :
a. Penyelesaian
melalui jalur diplomatik :
-
Negosiasi :
penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tua digunakan oleh manusia.
Dilakukan oleh 2 pihak bilateral yang bersengketa
-
Mediasi :
cara atau metode penyelesaian melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut
sering disebut dengan mediator bisa negara, organisasi Internasional atau
individu.
-
Konsiliasi :
cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi oleh
pihak ke tiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak.
-
Pencarian Fakta (Fact Findings) : pemastian kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap
sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa.
-
Jasa – jasa baik : cara penyelesaian
sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ke tiga, dengan fungsi mempertemukan
para pihak sedemikian rupa sehingga para pihak mau duduk bersama, dan
bernegoisasi.
-
Artbitrase :
penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang
mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat.
-
Pengadilan Internasional : alternatif
penyelesaian sengketa selain cara – cara diatas adalah memalui pengadilan ada
pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc
atau pengadilan khusus.
b. Penyelesaian
melalui kerangka regional diplomatik :
-
Treaty of amity & cooperation in south
east Asia tahun. Mekanisme ini juga menggunakan High council
-
ASEAN Security Community (ASC)
-
ASEAN Regional Forum (ARF)
-
Penyelesaian secara hukum dan Arbitrase :
1. Mahkamah
Internasional
2. Internasional
Tribunal On the Law Of the Sea (ITLOS)
3. Arbitrase
Internasional
2.
Penyelesaian sengketa dengan Paksaan /
Kekerasan :
a. Tindakan
berbalasan
b. Embargo
c. Blokade
secara damai
d. Perang
Menurut
hukum laut Internasional, Malaysia dan Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1983
maka idealnya penyelesaian sengketa berdasarkan pada UNCLOS 1982 bukan pada
ketentuan yang berlaku sepihak. Menurut UNCLOS proses penentuan garis batas
landas kontinen mengacu pada Pasal 83 yang mensyaratkan dicapainya solusi yang
adil atau “equitable solution” (ayat
1) untuk mencapai solusi yang adil inilah kedua negara dituntut untuk berkreativitas
sehingga diperlukan tim negosiasi yang berkapasitas memadai.[6] Perlu diperhatikan bahwa
adil tidak selalu berarti sama jarak atau equidistance.
Sehingga status hak berdaulat atas Ambalat belum sepenuhnya jelas. Konvensi
hukum laut menyediakan berbagai metode dalam rangka penyelesaian sengketa hukum
laut. Penyelesaian kasus batas maritim dapat dilakukan dengan negosiasi atau
dengan bantuan pihak ketiga, sejauh ini Indonesia dan Malaysia memilih
negosiasi sebagai jalan penyelesaian sengketa. Secara Yuridis Indonesia
diuntungkan oleh adanya pasal 47 UNCLOS bahwa sebagai negara kepulauan
Indonesia dapat menarik garis di pulau – pulau terluarnya sebagai patokan untuk
garis batas wilayah kedaulatan. Untuk menyelesaikan sengketa wilayah Ambalat
ini dapat melalui perundingan bilateral dengan memberi kesempatan kedua belah
pihak untuk menyampaikan argumentasinya tentang wilayah yang disengketakan di
forum bilateral. Sejauh ini Indonesia dan Malaysia memilih negosiasi sebagai
jalan penyelesaian sengketa.
Menurut
saya walaupun Indonesia berada di atas angin karena sudah mengeksploitasi
daerah Ambalat sejak tahun 80-an, ini tentunya menunjukkan keseriusan Indonesia
untuk mengelola daerah tersebut. Namun dalam kasus sengketa blok Ambalat
Indonesia juga harus tetap memperjuangkan agar tidak seperti kasus Sipadan –
Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia, jangan sampai Indonesia mengalami
kembali hal yang sama seperti kasus
Sipadan – Ligitan tersebut. Oleh karena itu Indonesia harus terus meningkatkan
kemampuan diplomasi disertai bukti – bukti yang ada untuk meyakinkan pihak
lawan bahwa blok Ambalat secara hukum memang menjadi bagian dari wilayah
teritorial Indonesia dan Indonesia harus memasukkan Ambalat dalam Peta
Indonesia dan di sahkan dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia untuk
menegaskan bahwa pulau tersebut milik
Indonesia karena kita ketahui pengalaman Indonesia atas lepasnya Pulau Sipadan
– Ligitan diakibatkan dari pertimbangan Mahkamah Internasional bahwa Indonesia
tidak memiliki effective occupation
yakni peraturan hukum yang menegaskan bahwa Pulau Sipadan – Ligitan termasuk ke
dalam wilayah Indonesia.
Indonesia
juga harus terus meningkatkan pengelolaan sumber daya minyak yang merupakan sumber
daya yang melimpah di Ambalat agar sumber daya minyak tersebut tidak di curi
oleh Malaysia, tidak lupa Indonesia juga harus meningkatkan penjagaan TNI di
perbatasan – perbatasan karena dengan kekuatan militer kita yang besar maka
negara lain akan takut pada kita dan tidak berani mencari masalah dengan kita
bahkan merebut pulau – pulau kecil yang Indonesia miliki. Karena daerah –
daerah perbatasan rawan terjadi persengketaan dan seharusnya pihak Indonesia
dan Malaysia menetapkan dengan benar garis batas wilayahnya agar tidak terjadi
persengketaan yang berlarut – larut seperti kasus sengketa perairan Ambalat ini.
[1] Kompas, RI Peringatkan Malaysia Soal Blok Ambalat, dalam http://nasional.kompas.com, diakses pada 10 Mei 2017.
[2] Boer Maun, 2008, Hukum Internasional (Peringatan, Peranan dan
Fungsi dalam Era Dinamika Global), Bandung : Alumni, hlm 357
[3] Aziz Ikhsan Bakhtiar, 2014, Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia dan
Malaysia di Wilayah Ambalat Menurut Hukum Laut Internasional, Jakarta :
Staf Dinas Pengadaan TNI AL MABESAL Cilangkap Jakarta.
[4] Agus Subagyo, Studi Kasus Upaya Mempertahankan Blok Ambalat Sebagai Wilayah NKRI :
Belajar dari Lepasnya Pulau Sipadan Ligitan, Bandung.
[5] Op Cit, Aziz Ikhsan Bakhtiar.
[6] I Made Andi Arsana, Penyelesaian Sengketa Ambalat Dengan
Delimitasi Maritim : Kajian Geospasial dan Yuridis, Yogyakarta :
Universitas Gajah Mada.
Terimakasih ka Artikelnya sangat bermanfaat :)
BalasHapus