Sabtu, 13 Mei 2017

LEPASNYA PULAU SIPADAN - LIGITAN



Oleh : Rita Apriani
1510631180131 / IP 4D
Ilmu Pemerintahan
Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang




PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM KASUS SIPADAN - LIGITAN


Indonesia dan Malaysia memperebutkan kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan karena kedua pulau tersebut memiliki letak geografis yang strategis dan sumber daya alamnya berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek pariwisata. Kedua pulau tersebut menjadi penting bagi Indonesia karena bisa dijadikan titik untuk menentukan lebar laut wilayah, landas kontinen, dan zona ekonomi tetapi juga ketentuan wilayah negara. Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing – masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan – Ligitan ke dalam batas – batas wilayahnya, Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah selama 33 tahun sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2001.[1] Konflik Pulau Sipadan – Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Dalam konteks modern sengketa Pulau Sipadan – Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Titik klaim Pemerintahan Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang yakni Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.[2]

Disini saya mengambil beberapa teori yang pertama teori Diplomasi Menurut Schelling menyatakan bahwa Diplomasi adalah tawar – menawar, berusaha untuk mendapatkan hasil – hasil itu meskipun tidak ideal untuk salah satu pihak, dapat bersifat sopan atau kasar, memerlukan ancaman serta negoisasi, menganggap status quo atau mengabaikan semua hak dan hak istimewa, dan menganggap ketidakpercayaan daripada kepercayaan.[3] Upaya penyelesaian sengketa melalui Perundingan Bilateral. Dalam perundingan  ini yang akan merumuskan batas – batas wilayah Indonesia dan Malaysia itu ternyata belum diketahui secara jelas kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan. Proses pelaksanaan perundingan ini antara Indonesia dan Malaysia belum ditentukan negara mana yang mempunyai hak atas kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan. Akhirnya pada tahap akhir perundingan tanggal 22 September 1969 kedua negara membuat kesepakatan bahwa Pulau Sipadan – Ligitan dinyatakan dalam posisi status quo bahwa Pulau Sipadan – Ligitan tidak boleh ditempati dan sisusuki oleh pihak manapun baik Indonesia maupun Malaysia, yaitu daerah tanpa kekuasaan dimana tidak akan menempati, menduduki dan mengelola Pulau Sipadan – Ligitan. [4] Akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda.  Pihak Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo  sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia dengan strategi fair play  mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh di tempati atau di duduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.[5] Tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut kedalam peta Nasionalnya. Pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad menginginkan pembagian “fifty- fifty” terhadap kepulauan tersebut. Pada kenyataannya Presiden Soeharto yang tanpa dukungan bukti – bukti sangat percaya diri untuk memperkarakan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan melalui jalur hukum dengan membawa permasalahan ke Mahkamah Internsional ( International Court of Justice atau ICJ ) keduan negara sepakat untuk mengangkat utusan kasus ini dari masing – masing negara untuk mencari solusi alternatif, dengan merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (IJC). [6]

Dalam Kebijakan Politik Luar negeri kebijakan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum politik luar negeri merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia Internasional.[7] Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan – Ligitan kebijakan politik luar negeri tidak dapat dihasilkan dengan baik disebabkan. Pertama,  Politik luar negeri yang di jalankan oleh pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabadikan untuk kepentingan nasional. Kedua, opini dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan respon atau tanggapan dari pemerintah. Ketiga, berubahnya struktur pengambilan keutusan dimana pemerintah bukan lagi merupakan satu – satunya aktor dalam sebuah pertandingan bilateral untuk memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Dimana antara pemerintah dengan DPRD RI tidak berjalan secara sinergis dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri yang di keluarkan oleh pemerintah yang nantinya akan dijadikan landasan dalam melaksanakan perundingan bilateral sebagai upaya politik untuk memperoleh kedaulatan wilayah atas pulau Sipadan – Lgitan,[8] Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan jelas bahwa peran kebijakan politik pemerintahan Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.

Dalam teori realisme politik internasional menurut Hans J. Morgenthau[9] dicirikan oleh tiga hal :
1.      Negara dan Politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, unit analisis dan tingkat analisis dikenalkan pada negara – negara sebagai aktor utama dalam panggung politik internasional. Negara dan politik luar negerinya merupakan unit dalam tingkat analisanya.
2.      Konsep power, bahwa tingkah laku negara – negara dipanggung politik Internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk memelihara, meningkatkan serta menunjukkan powernya.
3.      Konsep Balance of power, pola interaksi hubungan antar negara yang sama – sama berjuang untuk memelihara, meningkatkan dan menunjukkan powernya digunakan konsep perimbangan kekuatan (balance of power).
Dalam permasalahan sengketa pulau Sipadan – Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, realisme politik yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik sehingga perumusan suatu kebijakan politik tidak dapat terlaksana dengan baik. Sesuai dengan teori realisme strategi seharusnya pemerintah Indonesia lebih meningkatkan strategi militernya, karena menurut teori Realisme militer sebagai alat untuk perdamaian, sesuai teori realisme dan adanya dilema keamanan yang menyatakan bahwa ketika negara tidak mempunyai militer negara tersebut takut untuk diserang tetapi ketika negara meningkatkan militernya maka akan memunculkan kecurigaan dari negara lain disebut balance of power.

Dalam hukum Internasional bahwa keseluruhan kaidah – kaidah dan asas – asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas – batas negara, antarnegara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.[10] Sengketa Pulau Sipadan – Ligitan dilakukan dengan cara arbritasi dan negoisasi dengan membawa penyelesaian  permasalahan sengketa ke Mahkamah Internasional (ICJ).
Pertimbangan utama yang dipertimbangkan mahkamah Internasional[11] :
1.      Dalil effectivite yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia sebagai pertimbangan untuk memutuskan siapa yang paling berhak memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan – Ligitan (tindakan administratif, peraturan hukum, dll).
2.      Continuous Presence (pemeliharaan terus-menerus oleh pemerintah Malaysia setelah ditinggalkan pemerintah Inggris)
3.      Ecology Preservation (pelestarian alam)
4.      Perscreption (tidak menelantarkan wilayah)

Pada selasa 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan – Ligitan antara negara Indonesia dan Malaysia. Hasilnya dalam voting di lembaga itu bahwa Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim sementara hanya satu yang berpihak kepada Indonesia. Maka Indonesia harus menerima konsekuensinya dengan melakukan beberapa perubahan yakni revisi PP No. 38 Tahun 2002, menentukan rencana posisi titik – titik garis pangkal yang baru disekitar perairan Sulawesi dan membuat rencana lebar laut teritorial.

Menurut saya dilihat dari permasalahan lepasnya pulau Sipadan – Ligitan menyadarkan Indonesia untuk melakukan strategi kebijakan dengan pembangunan pengamanan TNI AL dan perkembangan pengelolaan wilayah perbatasan menjadi objek wisata juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan SDA yg melimpah karena dengan itu masyarakat diwilayah tersebut akan merasa di perhatikan dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas penjagaan di daerah – daerah perbatasan terutama penjagaan TNI harus lebih tegas dalam menangani dan mengawasi pulau – pulau terutama di perbatasan karena dengan kekuatan militer kita yang besar maka negara lain akan takut pada kita dan tidak berani mencari masalah dengan kita bahkan merebut pulau – pulau kecil yang Indonesia miliki dan pemerintah Indonesia harus lebih memperhatikan pulau – pulau kecil terluar di wilayah Indonesia yang tidak berpenghuni untuk di masukan dalam peta Indonesia dan di sahkan dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia untuk menegaskan bahwa pulau – pulau tersebut milik Indonesia karena kita ketahui lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan pun diakibatkan dari pertimbangan Mahkamah Internasional bahwa Indonesia tidak memiliki effective occupation yakni peraturan hukum yang menegaskan bahwa Pulau Sipadan – Ligitan termasuk ke dalam wilayah Indonesia .

Tidak terlepas dari itu pemerintah juga harus memperhatikan dan  mengelola pulau – pulau kecil terluar di wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara lain agar dunia Internasional tahu bahwa Indonesia memperhatikan juga mengelola semua pulau – pulau kecil terluar di wilayah Indonesia tidak hanya memperhatikan pengelolaan pulau – pulau besar saja. Karena kita ketahui pulau – pulau kecil di daerah perbatasan yang merupakan pulau yang termasuk dalam wilayah Indonesia memiliki potensi alam dan keindahan alam yang luar biasa maka mungkin saja negara lain akan berniat merebut pulau – pulau tersebut oleh karena itu Indonesia harus lebih memperhatikan dalam hal kekuatan militer dan peraturan hukum yang menegaskan pulau – pulau tersebut milik Indonesia dan mengelola pulau – tersebut agar tidak di rebut oleh negara lain. Oleh karena itu permasalahan sengketa kepemilikan pulau Sipadan – Ligitan hendaknya menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial terutama pulau – pulau terluar Indonesia yang tidak berpenghuni.






[1] Aspiannor Masrie, Kasus Sipadan – Ligitan, dalam http://www.metronews.com
[2] Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung : PT Alumni, hlm 280.
[3] Fauzan Maghribi Rachmat, 2015, Diplomasi, dalam https://fauzan-maghribi-rachmat-fisip-14. Diakses pada 09 Mei 2017
[4] Op cit, Boer Mauna.
[5] Kurniawan Setyanto, 2012, Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan, Jakarta : Universitas Indonesia
[6] Ibid.
[7] Wolfram F. Hanrieder, 1971, Comparative Foreign Policy : Theoretical Essays, New York: DavidMcKay Co, hlm 15.
[8] Op cit, Kurniawan Setyanto.
[9] Antonius Sitepu, Teori Realisme Politik Hans. J. Morgenthau Dalam Studi Politik dan Hubungan Internasional, hlm. 52.
[10] Prof. DR. Kusumaatmadja, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : PT.Bina Cipta.
[11] Abdul Irsan, 2009, pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan, Jakarta : Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen Volume v No. 27, hlm 253.

KONFLIK PERAIRAN AMBALAT




Oleh : Rita Apriani
1510631180131 / IP 4D
Ilmu Pemerintahan
Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang

KONFLIK PERAIRAN AMBALAT DALAM TEORI HUKUM INTERNASIONAL

Blok Ambalat terletak di laut Sulawesi atau selat Makasar yang secara geografis langsung berbatasan dengan negara Malaysia dan kaya akan potensi sumber daya alam yang diperkirakan mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan 30 tahun ke depan sehingga menjadikan Blok Ambalat menjadi rawan konflik.[1] Wilayah Blok Ambalat merupakan milik Indonesia, hal ini berdasarkan bukti penandatanganan Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia – Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur yang kemudian diratifikasi pada tanggal 7 November 1969.[2] Hal inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat berada di bawah kepemilikan Indonesia. Penyelesaian sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, menurut hukum Internasional harus dilakukan secara damai.[3]

Tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan dan secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukkan  blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4º 10' arah utara melewati pulau sebatik. Tentu peta inipun diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia dengan berkali – kali pihak Malaysia membuat sendiri peta sendiri padahal telah adanya perjanjian – perjanjian tapal batas laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970, masyarakat Indonesia melihatnya sebagai perbuatan secara terus – menerus dari pihak Malaysia seperti ingin melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Pihak Malaysia, Petronas memberikan konsesi eksplorasi minyak kepada perusahaan Shell pada Februari 2005. Pada 3 Juni 2009 Krisis blok Ambalat antara pemerintah Indonesia dan Malaysia terus memanas, sebanyak 13 kali kapal dan pesawat angkatan tentara Malaysia memasuki wilayah kedaulatan Indonesia di Ambalat Kalimantan Timur, Sejak Januari 2009 hal ini mengundang keseriusan bagi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan di blok Ambalat. Sebab itu, DPR bersama Parlemen Belanda mengadakan pertemuan untuk membahas kerjasama pemenuhan kebutuhan kapal perang canggih untuk pertahanan keamanan dan menjaga kedaulatan NKRI.[4]

Alternatif penyelesaian sengketa Ambalatn dengan menggunakan teori Hukum Internasional[5] menyediakan berbagai metode dalam rangka penyelesaian sengketa hukum laut:
1.      Penyelesaian Sengketa secara damai :
a.       Penyelesaian melalui jalur diplomatik :
-          Negosiasi  : penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tua digunakan oleh manusia. Dilakukan oleh 2 pihak bilateral yang bersengketa
-          Mediasi    : cara atau metode penyelesaian melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut sering disebut dengan mediator bisa negara, organisasi Internasional atau individu.
-          Konsiliasi : cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi oleh pihak ke tiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak.
-          Pencarian Fakta (Fact Findings) : pemastian kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa.
-          Jasa – jasa baik : cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ke tiga, dengan fungsi mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga para pihak mau duduk bersama, dan bernegoisasi.
-          Artbitrase : penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat.
-          Pengadilan Internasional : alternatif penyelesaian sengketa selain cara – cara diatas adalah memalui pengadilan ada pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.
b.      Penyelesaian melalui kerangka regional diplomatik :
-          Treaty of amity & cooperation in south east Asia tahun. Mekanisme ini juga menggunakan High council
-          ASEAN Security Community (ASC)
-          ASEAN Regional Forum (ARF)
-          Penyelesaian secara hukum dan Arbitrase :
1.      Mahkamah Internasional
2.      Internasional Tribunal On the Law Of the Sea (ITLOS)
3.      Arbitrase Internasional
2.      Penyelesaian sengketa dengan Paksaan / Kekerasan :
a.       Tindakan berbalasan
b.      Embargo
c.       Blokade secara damai
d.      Perang

Menurut hukum laut Internasional, Malaysia dan Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1983 maka idealnya penyelesaian sengketa berdasarkan pada UNCLOS 1982 bukan pada ketentuan yang berlaku sepihak. Menurut UNCLOS proses penentuan garis batas landas kontinen mengacu pada Pasal 83 yang mensyaratkan dicapainya solusi yang adil atau “equitable solution” (ayat 1) untuk mencapai solusi yang adil inilah kedua negara dituntut untuk berkreativitas sehingga diperlukan tim negosiasi yang berkapasitas memadai.[6] Perlu diperhatikan bahwa adil tidak selalu berarti sama jarak atau equidistance. Sehingga status hak berdaulat atas Ambalat belum sepenuhnya jelas. Konvensi hukum laut menyediakan berbagai metode dalam rangka penyelesaian sengketa hukum laut. Penyelesaian kasus batas maritim dapat dilakukan dengan negosiasi atau dengan bantuan pihak ketiga, sejauh ini Indonesia dan Malaysia memilih negosiasi sebagai jalan penyelesaian sengketa. Secara Yuridis Indonesia diuntungkan oleh adanya pasal 47 UNCLOS bahwa sebagai negara kepulauan Indonesia dapat menarik garis di pulau – pulau terluarnya sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatan. Untuk menyelesaikan sengketa wilayah Ambalat ini dapat melalui perundingan bilateral dengan memberi kesempatan kedua belah pihak untuk menyampaikan argumentasinya tentang wilayah yang disengketakan di forum bilateral. Sejauh ini Indonesia dan Malaysia memilih negosiasi sebagai jalan penyelesaian sengketa.

Menurut saya walaupun Indonesia berada di atas angin karena sudah mengeksploitasi daerah Ambalat sejak tahun 80-an, ini tentunya menunjukkan keseriusan Indonesia untuk mengelola daerah tersebut. Namun dalam kasus sengketa blok Ambalat Indonesia juga harus tetap memperjuangkan agar tidak seperti kasus Sipadan – Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia, jangan sampai Indonesia mengalami kembali hal yang sama  seperti kasus Sipadan – Ligitan tersebut. Oleh karena itu Indonesia harus terus meningkatkan kemampuan diplomasi disertai bukti – bukti yang ada untuk meyakinkan pihak lawan bahwa blok Ambalat secara hukum memang menjadi bagian dari wilayah teritorial Indonesia dan Indonesia harus memasukkan Ambalat dalam Peta Indonesia dan di sahkan dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia untuk menegaskan bahwa pulau  tersebut milik Indonesia karena kita ketahui pengalaman Indonesia atas lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan diakibatkan dari pertimbangan Mahkamah Internasional bahwa Indonesia tidak memiliki effective occupation yakni peraturan hukum yang menegaskan bahwa Pulau Sipadan – Ligitan termasuk ke dalam wilayah Indonesia.

Indonesia juga harus terus meningkatkan pengelolaan sumber daya minyak yang merupakan sumber daya yang melimpah di Ambalat agar sumber daya minyak tersebut tidak di curi oleh Malaysia, tidak lupa Indonesia juga harus meningkatkan penjagaan TNI di perbatasan – perbatasan karena dengan kekuatan militer kita yang besar maka negara lain akan takut pada kita dan tidak berani mencari masalah dengan kita bahkan merebut pulau – pulau kecil yang Indonesia miliki. Karena daerah – daerah perbatasan rawan terjadi persengketaan dan seharusnya pihak Indonesia dan Malaysia menetapkan dengan benar garis batas wilayahnya agar tidak terjadi persengketaan yang berlarut – larut seperti kasus sengketa perairan Ambalat ini.






[1] Kompas, RI Peringatkan Malaysia Soal Blok Ambalat, dalam http://nasional.kompas.com, diakses pada 10 Mei 2017.
[2] Boer Maun, 2008, Hukum Internasional (Peringatan, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global), Bandung : Alumni, hlm 357
[3] Aziz Ikhsan Bakhtiar, 2014, Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Ambalat Menurut Hukum Laut Internasional, Jakarta : Staf Dinas Pengadaan TNI AL MABESAL Cilangkap Jakarta.
[4] Agus Subagyo, Studi Kasus Upaya Mempertahankan Blok Ambalat Sebagai Wilayah NKRI : Belajar dari Lepasnya Pulau Sipadan Ligitan, Bandung.
[5] Op Cit, Aziz Ikhsan Bakhtiar.
[6] I Made Andi Arsana, Penyelesaian Sengketa Ambalat Dengan Delimitasi Maritim : Kajian Geospasial dan Yuridis, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Jumat, 12 Mei 2017

KEBIJAKAN MARITIM MASA PEMEIRNTAHAN JOKOWI - JK

Review Buku Arungi Samudera Bersama Sang Naga 



Oleh : Rita Apriani
1510631180131 / IP 4D
Ilmu Pemerintahan
Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang

POROS MARITIMDUNIA (PMD)

Poros Maritim Dunia merupakan Visi Strategis dan Grand Strategis. Dalam hal Visi Strategis dapat dikatakan karena Indonesia mempunyai visi kelautan dan Indonesia menjadi pusat aktivitas kelautan dunia dan penentu arah sekaligus pemandu jalan bagi tercapainya tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam Grand strategis itu dapat dilihat dari aspek Geo strategisnya yang secara geografis berada tepat di pusat gravitasi politik dan ekonomi Indo-Pasifik yang di dalamnya tertuang analisis mengenai masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan yang dihadapi Indonesia yang tentu saja tujuan strategi Indonesia menjadi kekuatan maritim pada abad ke 21, dalam konteks ini Grand strategi dapat diartikan sebagai cara pemerintah dalam memanfaatkan tiga dimensi (kekuatan militer, kekuatan ekonomi, dan kekuatan diplomasi) geografisnya untuk mempertahankan kepentingan nasional.[1]

Dalam konteks merangkul dua kekuatan yang saling bersaing adapun Strategi Hedging menurut Kuik, merupakan strategi yang menggabungkan antara  balancing dan bandwagoning  dalam menghadapi ancaman. Inti dari hedging adalah dipeliharanya suatu kesempatan bagi suatu negara untuk memihak ke kekuatan mana saja manakala negara tersebut berada dalam posisi terdesak (yang harus memihak ke kekuatan tertentu yang paling menguntungkan negaranya)[2]. Hal tersebut dibuktikan oleh Thailand dan Pakistan dimana keduanya sama-sama sekutu Amerika Serikat namun mereka juga membangun kemitraan strategi dengan China di bidang ekonomi dan industri pertahanan. Poros Maritim Dunia adalah salah satu tindakan hedging Pemerintah Indonesia dalam konteks geoplitik dengan membangun kerja sama dengan kekuatan – kekuatan besar di kawasan Indo-Pasifik baik dengan Great Power, Middle Power Regionalisme (ASEAN) maupun Internasionalisme (PBB) terkait aspek maritim demi mengamankan kepentingan nasional dan tujuan strategis Indonesia menjadi negara maritim. Dimana tujuan Poros Maritim dunia sesuai dengan konsepsi diatas adalah untuk dapat memanfaatkan persaingan politik Internasional di kawasan Indo-Pasifik bagi kepentingan nasional Indonesia.

Proporsi Konsep Poros Maritim Dunia[3]
Konsepsi Poros Maritim Dunia dibagi ke dalam 5 pilar :
1.   Budaya Maritim :
Jika rakyat Indonesia ingin mendapat porsi lebih dari manfaat perekonomian berbasis maritim di Indonesia, maka budaya dan sikap mentalnya terhadap maritim harus berubah. Perubahan sikap mental ini harus diprogramkan melalui pendidikan formal dan informal serta tuntutan keteladanan dari para tokoh masyarakat yang berpengaruh. Aspek budaya lain yang turut mendukung visi Poros Maritim Dunia adalah perubahan orientasi pembangunan dari Jawa-  sentris menuju keluar – Jawa, dengan kegiatan sosial budaya yang memungkinkan untuk keluar – Jawa. Kegiatan sosial budaya tersebut dapat berupa pusat kegiatan politik nasional, pelayaran, perdagangan, industri, perikanan, pertanian, pendidikan, penelitian, kesehatan, kesenian dan bahkan pertahanan keamanan keluar – Jawa, agar di daerah baru nanti pusat – pusat kegiatan tersebut dapat menjadi penggerak roda perekonomian daerah. Perlu kemauan para elite politik nasional untuk bergerak dari zona nyaman menuju kesejahteraan sosial yang lebih merata. Jika dikaitkan dengan Poros Maritim Dunia, perubahan budaya Keluar – Jawa harus diprioritaskan pada pembangunan sentra pertumbuhan ekonomi yang berada di pesisir pantai. Yang memiliki keuntungan akses dengan kota-kota pelabuhan lain yang lebih maju melalui jalur laut. Sentra – sentra ekonomi baru ini akan menjadi pusat kegiatan sosial – Budaya baru di Indonesia yang dilengkapi dengan prasarana pelabuhan laut besar yang memadai agar proses transformasi pembangunan dapat terakselerasi lebih cepat. Revolusi mental menjadi hal penting diartikan sebagai proses perubahan sosial (dengan penuh kesadaran) menuju ke jati diri yang dituju sebagai bangsa maritim yang kuat.

2.      Ekonomi Maritim
Motif dibalik fokus politik Internasional di kawasan Indo-Pasifik tidak lepas dari motif ekonomi yakni Freedom of navigation, akses kepada sumber daya alam dan akses kepada pasar. Dalam pilar ke 2 ini tujuan utamanya adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya beraspek maritim seperti perikanan dan tambang bagi kepentingan nasional. Dimana hasil eksploitasi ekonomi maritim pada akhirnya dibawa ke pelabuhan yang memiliki fasilitas yang sesuai untuk menangani sumber daya maritim yang diarahkan kesana. Jika berupa ikan pelabuhan tersebut harus memiliki tempat sandar kapal ikan serta fasilitas unloading untuk meneruskan muatan ikan ke pasar ikan. Pasar ikan ini juga harus memiliki fasilitas pendingin untuk memelihara kesegaran ikan.
Jika sumber daya tersebut berupa minyak, dibutuhkan pelabuhan yang mampu disandari kapal tanker besar yang membutuhkan kedalaman hingga 20 meter, kemudian membutuhkan pipa penyerap muatan minyak untuk didistribusikan ke tanki penumpang. Dan minyak mentah tersebut harus di proses di kilang minyak untuk menjadi produk akhir berupa bahan bakar. Sehingga pemerintah perlu merencanakan pembuatan kilang – kilang minyak di beberapa pelabuhan di Indonesia. Jika muatan yang datang ke pelabuhan adalah muatan curah seperti batu bara. Perlu ada fasilitas yang sesuai untuk menampung kapal roro dengan mesin pengangkut baru bara menuju tempat penampungan dan untuk didistribusi lebih lanjut. Dalam pariwisata Indonesia diharapkan dapat lebih mengembangkan potensi di Bunaken, pulau komodo, Raja Ampat, Sangir, dll. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian terhadap standar – standar atas proses pengolahan dan penanganan komoditas yang berlaku, sehingga komoditas ekspor dapat diterima oleh pasar Internasional.

3.      Konektivitas Maritim
Dalam peta pelayaran Internasional ada satu rute gemuk yang melewati Selat Malaka dan dua rute sedang yang melewati Selat Sunda dan Laut Sulawesi. Indonesia perlu memanfaatkan satu rute gemuk dan dua rute sedang itu, seluruh pelabuhan strategis di rute – rute tersebut perlu didukung oleh sumber listrik yang memadai agar kapal – kapal dapat bersandar di sejumlah pelabuhan. Penting juga untuk dikaji mengenai penggunaan pembangkitan listrik tenaga nuklir yang sangat efisien untuk lokasi kepulauan seperti Indonesia. Diperlukan perbaikan atas sistem  hub and spoke yang ada, dengan memperhatikan masukan dari pelaku ekonomi yang terlibat dalam pelayaran domestik tersebut. Pelibatan investor swasta, baik lokal maupun asing sangat dibutuhkan untuk menyediakan berbagai jenis kapal kargo untuk menyesuaikan dengan jenis komoditas yang diangkut.

Adanya pelabuhan dalam proyek yakni pelabuhan Kuala Tanjung, Jakarta, Surabaya, Makassar, Sorong (Papua Barat) untuk menjadi lima deep sea power. Adapun beberapa wilayah yang berpotensi yang belum terjangkau dengan rute pelayaran pendukung seperti di wilayah Pontianak, Bengkulu, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Gorontalo. Apabila dengan kondisi di atas dukungan pemerintah pusat memiliki keterbatasan maka dapat melakukan kerja sama dengan pihak swasta disebut juga dengan pola Paradiplomasi yaitu kemampuan kebijakan luar negeri pemerintah daerah (sub-state) di arena Internasisonal dalam mencapai kepentingan daerahnya. Dimana pemerintah daerah diperlukan untuk mempromosikan maritim/insfrastruktur di daerahnya. Yakni komponennya terdiri dari negara, sub-negara (daerah diluar negeri), individu, dan non-negara (contohnya LSM).

Pemerintah daerah dengan otoritas yang diberikan pemerintah pusat dapat mengatur terwujudnya investasi asing ke daerahnya. Hal ini pun sejalan dengan kebijakan sejumlah negara maju yang memiliki program bantuan luar negeri (foreign aid) kepada negara – negara berkembang seperti kerja sama Surabaya dengan Busan dan Berlin, Bandung dengan Inggris. Kerja sama pemerintah daerah di Indonesia dengan pemerintah Daerah di luar negeri disebut juga dengan  Sister City dalam bidang budaya, ekonomi, politik. Dan pemerintah daerah tidak boleh berkerja sama dengan pemerintah daerah luar negeri dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan. Paradiplomasi pemerintah daerah diharapkan dapat menjembatani hal kesulitan pemerintah pusat dalam mengurus seluruh kepentingan nasional dengan merujuk kepada perbandingan antara politik luar negeri dengan politik dalam negeri mengenai fungsi perbantuan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dengan tujuan dilakukannya diplomasi di dunia Internasional adalah untuk memenuhi ataupun memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia.

4.      Diplomasi Maritim
Ada 4 hal yang perlu diperhatikan : 1) perlunya selalu mempertajam dan memprioritaskan kepentingan nasional Indonesia. 2) menentukan strata kepentingan. 3) perlunya memperjuangkan kepentingan ASEAN. 4) perlunya mengupayakan solusi menang – menang dari masalah sengketa antar negara anggota ASEAN dan pihak luar ASEAN. Adapun prioritas yang paling rasional adalah mengedepankan kepentingan nasional Indonesia dahulu, kepentingan daerah Indonesia, kemudian ASEAN, dan baru kepentingan kekuatan – kekuatan besar.

Situasi geopolitik di Indo-Pasifik masih di dominasi oleh supremasi hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya. Salah satu agenda aliansi AS adalah melakukan containment strategy terhadap China di bidang politik dan keamanan. Posisi Indonesia sendiri berada tepat di tengah negara – negara sekutu dan mitra strategis AS Maka kebijakan luar negeri bebas aktif perlu dimaknai dengan lebih cerdas, arif dan bijaksana. Bebas aktif diartikan sebagai kebebasan Indonesia untuk membangun alignment dengan negara mana pun atau memilih untuk non-align, bukan hanya non-align saja. Namun pilihan akhir harus berdasarkan kajian seksama dari dinamika geopolitik regional dan global.

Pakistan dan Thailand merupakan contoh negara yang mendemontrasikan politik luar negeri yang sangat dinamis. Disatu sisi mereka sekutu pertahanan AS namun disisi lain mereka juga membangun kemitraan strategis dengan China dalam bidang ekonomi dan industri pertahanan. Hal ini disebut dengan strategi Hedging, dimana strategi hedging sapat dikatakan sama dengan strategi wait and see.

5.      Pertahanan Maritim
Keamanan maritim adalah hal yang menyangkut keamanan navigasi (dilaut), penanggulangan kejahatan transnasional meliputi bajak laut dan terorisme maritim serta pencegahan dan resolusi konflik. Jika negara lemah alam pengawasan laut negara tersebut memiliki kerawanan untuk dirugikan oleh nelayan asing (illegal fishing), penyelundupan (baik orang maupun barang), perampokan (pirate), dan terorisme maritim. Indonesia memiliki kewajiban untuk membangun kekuatan pertahanan maritim dimana hal ini diperlukan bukan hanya untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim Indonesia tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Strategi DID  (Defense-in-Depth) karena tingkat stabilitas keamanan dalam negeri Indonesia masih labil. Sehingga sudah saatnya Indonesia menerapkan dua strategi sekaligus yaitu DID (dengan TNI AD sebagai leading sector dengan operasi teritorialnya) dan SDF (dengan TNI AL dan TNI AU secara bersama – sama menjadi leading sector-nya). Dengan penerapan kedua strategi tersebut diharapkan pertahanan Indonesia akan semakin kokoh dalam menghadapi ancaman tradisional maupun non tradisional. Postur pertahanan yang efektif terpusat pada kekuatan maritim (sea power) dan kekuatan udara (air power). Hal ini sejalan dengan pendapat Prabhakar yang dituangkan dalam 6 alasan : Pertama, karena dampak dari transformasi pertahanan dan peningkatan teknologi militer atai dikenal dengan istilah Revolition in Military Affairs (RAM). Kedua, adanya kehadiran kekuatan asing di kawasan Samudra Hindia, Laut China Selatan, dan Pasifik Timur terutama dari angkatan laut Amerika Serikat, Australia, China, India, Jepang, Prancis dan Inggris yang menyebabkan peningkatan kebutuhan interoperabilitas antara kekuatan laut negara di kawasan dan kekuatan maritim asing tersebut.

Ketiga, modernisasi kekuatan militer China juga berdampak pada kebutuhan untuk memordenisasikan kekuatan pertahanan di kawasan Asia Tenggara. Keempat, isu global atas perang melawan terorisme juga membuat kekuatan militer di Indo-Pasifik menyiapkan diri dalam menghadapi konflik asimetris dan berintensitas rendah. Kelima, peran AS di kawasan Indo-Pasifik cenderung semakin besar. Keenam, munculnya peran dan relevansi baru dari aliansi regional dan bilateral di Indo-Pasifik antara AS dan Five Powers Defense Arrangement (FPDA).

Konsep Poros Maritim Dunia dalam Kebijakan Publik Indonesia
Poros Maritim Dunia bukanlah tujuan akhir atau Kepentingan Nasional / National Interest (NI) melainkan merupakan tujuan antara untuk mencapai kepentingan nasional melalui penyusunan dan penggunaan instrumen yang tepat, dibutuhkan strategi untuk menerjemahkan alat apa yang akan digunakan dalam mencapai National Interes (NI). Dimana Untuk mencapai Kepentinggn Nasional / Nasional Interest (NI) yakni pada era konvensional alat tersebut antara lain melalui ekonomi, politik (diplomasi) dan militer. Namun seiring dnegan dinamika Hubungan Internasional instrumen ini bertambah yang mana terdiri dari keuangan, inteligen, hukum dan informasi yang termasuk bagian dari alat kekuatan nasional. Dimana perbendaan ekonomi dan keuangan yakni bahwa ekonomi menyangkut menyeluruh seperti produksi, distribusi dan lain-lain, sedangkan keuangan hanya menyangkut finansial, nilai tukar dan moneter yang terpengaruh oleh stabilitas pertahanan, stabilitas keamanan dan stabilitas politik. Semua alat itu digunakan untuk mencapai visi Poros Maritim Dunia yang pada akhirnya ditujukan untuk pencapaian Kepentingan Nasional / National Interest (NI). Poros Maritim dunia dapat diposisikan menjadi visi (Ends) geopolitik Indonesia dalam menghadapi persaingan politik Internasional di kawasan Indo-Pasifik. Yang akan memandu pemerintah dalam penerapan kebijakan luar negeri dan pertahanannya, serta memandu pembangunan postur militer, perencanaan sistem perdagangan dan industri Internasional serta dalam perencanaan strategi diplomasi yang efektif. Dimana Ends yakni tujuan-tujuan National Policy itu adalah Poros Maritim Dunia, sedangkan End atau tujuan  akhirnya yakni National Interes (NI).

Teori Sea Power Menurut Geoffrey Till

Teori Sea Power Menurut Geoffrey Till dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam konteks seapower kebijakan nasional merupakan asal dari kebijakan luar negeri, ekonomi dan pertahanan yang akhirnya mengerucut pada kekuatan maritim suatu negara, baik dari sektor sipil maupun militer. Jika menggunakan konsepsi Till, Poros Maritim Dunia dapat didudukan sebagai kebijakan nasional Pemerintah yang menjadi rujukan bagi kebijakan-kebijakan lain di tiap kementerian dan instansi pemerintahan terkait. Pandangan Till juga telah mengingatkan kita bahwa prospek Indonesia sebagai negara maritim adalah melalui proses yang tidak cukup dipenuhi dengan lanskap kebijakan nasional diatas, namun juga memerlukan strategi yang mampu mengombinasikan strategi keamanan nasional, strategi militer, strategi naval, strategi resources-based, yang keseluruhannya sedapat mungkin terkait dengan kebijakan nasional pada perekonomian maritim. Mendudukan Poros Maritim Dunia sebagai kebijakan nasional dalam konsepsi Till diatas akan memberi Poros maritim dunia dimensi luas yang meliputi dimensi hubungan Luar Negeri, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.[4]

SINERGI POROS MARITIM DUNIA DAN JALUR SUTRA MARITIM ABAD KE-21
Untuk kerja sama dengan China, ekonomi merupakan domain yang tepat dalam mendorong kekuatan ekonomi Indonesia sendiri, ada banyak keuntungan yang didapat Indonesia dari regionalisme Jalur Sutra Maritim yang ditawarkan pemerintah China, namun Indoneisapu harus selaku waspada karena di balik setiap kesempatan selalu ada biaya yang harus dibayar, sesuai dengan pepatah AS “there is on (such thing of) free lunch”.[5]

Persamaan Kepentingan China dan Indonesia
Keuntungan dari China yang ingin didapat dari Indonesia, selain memanfaatkan kekayaan alam Indonesia yang melimpah China juga ingin meningkatkan pasar bagi produk-produknya dengan pembentukan Jalur Sutra Maritim yang didukung dengan kebijakan bebas bea (free trade area) antara China dengan negara-negara yang tergabung di blok ekonomi tersebut. Kepentingan Indonesia yang dapat dipenuhi adalah kebutuhan Indonesia terhadap investasi di jalur perdagangan antar pulau Indonesia sendiri yang sering disebut sebagai konsep tol laut. Dengan tingginya biaya logistik tidak heran jika produk Indonesia kalah saing di pasar Internasional jika dihadapkan dengan produk luar negeri yang lebih murah karena biaya logistiknya lebih murah. Misalnya biaya pengiriman container dari Padang ke Jakarta senilai US$600, sedangkan dari Singapura ke Jakarta senilai US$185 saja. Pemerintah Indonesia perlu menata keseimbangan pembangunan infrastruktur maritim antara sektor barat, tengah dan timur Indonesia. Di daerah – daerah di uar Pulau Jawa ditemkan disparitas yang tinggi atas ketersediaan dan keterjangkauan (harga) sejumlah barang kebutuhan pokok, terutama di Indonesia Timur. Kendala terjadinya disparitas tersebut adalah ketiadaan kapal barang yang berlayar secara reguler dari Jawa ke pelabuhan – pelabuhan lain di luar Jawa. Oleh karena itu Kementerian Perdagangan RI melakukan terobosan dengan menginisiasi program gerai maritim yang bekerja sama dengan PT. Pelni dan jaringan usaha ritel untuk mampu mengadakan rute pelayaran barang terjadwal dari pelabuhan di Pulau Jawa ke sejumlah pelabuhan di wilayah Indonesia Timur. Sedangkan untuk pembangunan infrastruktur di daerah yang lebih maju akan diarahkan melalui mekanisme B-2-B (business to business) dimana pemerintah pusat menghendaki peran serta investor nasional (swasta atau pemerintah) dengan investor asing seperti pembangunan kereta cepat antara Jakarta dan Bandung.

Wilayah – wilayah khusus dalam koridor ekonimi distimulasi perkembangan ekonominya oleh pemerintah seperti konsep “special econimic zone” ala China. Disana investasi asing diberikan kemudahan plus diberi insentif fiskal dengan tujuan agar wilayah – wilayah sekitar koridor tersebut turut maju wilayah koridor tersebut diarahkan untuk memiliki produk unggul tersendiri sesuai dengan kekhasan wilayah setempat. Pemerintah Indonesia dituntut untuk mampu menyinergikan pembangunan yang dibiayai pemerintah dan pembangunan investasi asing secara harmonis melalui konsepsi “Pendulum Nusantara”. Peran pemerintah Indonesia adalah membangun infrastruktur laut yang kurang diminati investor asing, seperti di timur Indonesia di pesisir selatan Jawa, di pesisir selatan Sumatra dan di pesisir utara Gorontalo. Tawaran kerja sama China melalui visi Jalur Sutra Maritim harus dapat menguntungkan Indonesia dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dipercepat melalui penguatan transportasi laut dan investasi di daerah – daerah tertinggal untuk menunjang tol laut tersebut.

Potensi Benturan Kepentingan Indonesia dengan China
Kepentingan China yang agresif memiliki pengaruh besar kepada ASEAN dan juga kepada kalkulasi kepentingan Indonesia. Leifter berpendapat bahwa perubahan kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih membuka diri untuk bekerja sama dengan China belum dapat menghilangkan luka sejarah atas perilaku ekspansionis China dimasa silam abad ke 13 dan 15 dan keterlibatan China dan komunisme di era Orde Lama. Sengketa Laut China Selatan (LCS) adalah wujud dari perilaku ekspansionis China yang berpotensi untuk meledak menjadi konflik besar. Saat ini Indonesia memilih untuk menjadi non-claimant state di LCS dan cenderung tidak ikut campur dalam sengketa di Laut China Selatan. Jika China semakin agresif makan kesatuan ASEAN pun akan semakin terancam dan Indonesia pun harus membuat pilihan sulit antara membela kepentingan politisnya atau kepentingan ekonominya.

Proposisi Penyelarasan Poros Maritim Dunia dan jalur Sutra Maritim
Pada bidang budaya maritim, budaya dan sikap mentalnya terhadap maritim harus berubah diprogramkan melalui pendidikan formal dan informal. China memiliki kapasitas dan intensi untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam menumbuh kembangkan budaya maritim di Indonesia. Pada bidang ekonomi maritim, Indonesia yang perlu diselaraskan adalah terwujudnya kerja sama bilateral dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya olahan secara optimal dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya modal dan teknologi dari China. Indonesia perlu memiliki road map yang komprehensif dalam membangun pelabuhan – pelabuhan besar dan sedang untuk menampung hasil eksploitasi sumber daya laut. Untuk menjadi Poros Maritim Dunia maka infrastruktur tol laut seperti sarana dan prasarana pelabuhan, kapal angkut/penumpang, alat navigasi pelayaran, juga harus dibangun. Terkait konektivitas maritim, Indonesia memiliki tantangan yang sangat besar. Kebijakan one belt one road berarti perlintasannya hanya akan melewati perairan di Selat Malaka yang telah didominasi Singapura sebagai entreport dari dan ke Asia Tenggara. Indonesia harus melakukan konsolidasi ke dalam negeri membangun prasarana transportasi laut yang memadai dan mampu menampung sejumlah kapal dengan berbagai ukuran, Indonesia juga harus mampu mengimbangi Singapura untuk menjadi entreport sekaligus global transhipment port kedua disekitar Selat Malaka dengan membangun deep sea port di lokasi – lokasi strategis seperti di Sabang, Batam dan Natuna. Disinilah esensi terbesar dari sinergi Poros Maritim Dunia dan Jalur Sutra Maritim. Sabang memiliki lokasi yang sangat unik karena berada tepat di ujung barat laut Indonesia. Lokasi ini dilewati rute pelayaran gemuk internasional. Sehingga cocok dijadikan lokasi global transhipment port. Lokasi ini pun ideal untuk menjadi pangkalan aju militer Indonesia sebagai forward presence dan pangkalan untuk mendukung operasi patroli di pesisir Sumatera bagian Barat.

Pada bidang diplomasi maritim, Indonesia harus mampu merevitalisasi politik luar negeri bebas aktifnya agar bis mendapat manfaat ganda dibidang ekonomi dan pertahanan. Diplomasi maritim ini juga menuntut kepiawaian diplomat Indonesia untuk menyinergikan 3 kelompok kepentingan secara simultan yaitu : kepentingan Indonesia, kepentingan ASEAN, kepentingan kekuatan besar (super power, great power, dan middle power). Yang paling penting yang harus diselesaikan secara diplomatis dan menjadi prioritas diplomasi Indonesia adalah maslah perbatasan yang sampai sekarang belum terselesaikan. Perlu adanya resolusi sengketa yang bersifat kreatif seperti pembentukan zona pembangunan bersama (joint development zone) diwilayah sengketa oleh negara-negara terkait agar semua pihak dapat memperoleh manfaat bersama secara adil. Vietnam dan Filipina sudah mengambil langkah untuk mempererat hubungan bilateral dengan Amerika Serikat. Hal ini secara tidak langsung menurunkan kredibilitas ASEAN pada umumnya dan Indonesia pada khususnya sebagai pihak yang seharusnya dapat membantu mencari solusi atas sengketa di Laut China Selatan.

Bicara tentang keamanan maritim,  dengan membentuk keamanan maritim bersama yang bersifat inklusif yang melibatkan seluruh negara yang berkepentingan dengan leading sector-nya negara yang menguasai wilayah laut yang diawasi. Pelibatan militer asing dalam masalah keamanan di perairan Indonesia akan menuntut keberadaan protokol dan instrumen interoperabillity yang memadai. Kemitraan bidang pertahanan Indonesia dengan China harus dibangun dalam konteks menegakkan perdamaian dunia dan mendukung eksistensi dan visi masing – masing negara. Sarana pertahanan produksi China yang dianggap memiliki daya tangkal yang tinggi diantaranya adalah :

-          Kapal Selam bertenaga Diesel, lebih senyap dan dilengkapi dengan sistem propulsi air independent dapat lebih lama menyelam dibawah permukaan laut dengan senjata torpedo dan rudal jarak jauh. Diharapkan kerja sama PT. PAL bekerja sama dengan Jiangnan Shipyard

-          Kapal Perang kelas Destroyer, disarankan kerja sama PT. PAL dengan Changxingdoa-Jiangnan Shipyard.
-          Rudal Balistik antar benua, dapat dipasangi hulu ledak nuklir juga dilengkapi GPS yang dapat dikendalikan di pusat komando pada saat setelah diluncurkan.
-          Rudal Balistik dari kapal selam, disarankan dapat bekerja sama Lapan dengan ARMT.

Kemitraan Indonesia dengan China menjadi lebih relevan yang telah diformal dalam kemitraan strategis yang dikenal dengan Strategic Comprehensive Partnership (SCP). Kemitraan ini meliputi bidang : 1. Politik, keamanan dan pertahanan, 2. Kerja sama ekonomi dan pembangunan, 3. Maritim, penerbangan, ilmu pengetahuan dan teknologi, 4. Kerja sama sosial dan budaya, 5. Kerja sama dan internasional. Hal ini membuka peluang bagi sub-negara dalam hal ini pemerintah daerah untuk menjalin kerja sama dengan mitra luar negeri guna mencapai tujuan pembangunan daerahnya, mitra luar negeri berupa pemerintah daerah asing, organisasi non pemerintah, swasta dan perorangan.

Konsekuensi dari Kebijakan yang Ditawarkan
Pemerintah Indonesia harus menggunakan hubungan ekonomi dengan China secara strategis terutama untuk menunjang industri dalam negeri. Dengan cara melakukan perombakan birokrasi, pemberantasan korupsi dan memperbaiki iklim bisnis di Indonesia. Bukan berarti tanpa Jalur Sutra Maritim maka Poros Maritim Dunia tidak akan tercapai, Jalur Sutra Maritim hanyalah fasilitator untuk mengakselerasi terwujudnya Poros Maritim Dunia. Pemerintah Indonesia harus mengidentifikasi keunggulan kompetitif industri Indonesia terhadap China. Sudah satnya industri kreatif Indonesia berorientasi ke pasar ekspor.

Dari paparan diatas saya beropini bahwa Indonesia dapat kembali menjadi negara yang berkuasa dalam dunia maritim apabila dapat lebih mengoptimalkan dalam pengelolaan kekayaan sumber daya laut yang dimiliki oleh Indonesia dengan salah satu strategi yakni Poros Maritim Dunia yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Karena seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling berpengaruh di ASEAN dan sebagai pemimpin alamiah di kawasan ini. Karena kekayaan dan potensi alam Indonesia yang tinggi maka banyak investor asing yang ingin bekerja sama dengan Indonesia, baik itu kerja sama antara pemerintah pusat maupun antar pemerintah daerah yang disebut juga dengan paradiplomasi. Menurut saya paradiplomasi ini merupakan kerja sama yang menjanjikan bagi pembangunan suatu daerah untuk menjadi lebih maju, karena majunya daerah di suatu negara maka akan dapat membuat kemajuan juga untuk negaranya. Akan tetapi Indonesia harus lebih berhati - hati dalam melakukan kerja sama dengan pihak asing jangan sampai kerja sama tersebut dapat menjadi ancaman bagi Indonesia dan merusak alam dan habitat yang ada di alam Indonesia. Kerjasama yang dilakukan Indonesia harus mengutamakan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu kebijakan Poros Maritim Dunia harus menjadi visi bangsa Indonesia dalam meningkatkan kekuatan di bidang maritim sehingga dapat bersaing dengan negara great power bahkan super power. Karena bukan hal yang tidak mungkin Indonesia akan bisa menjadi negara yang super dalam kekuatan maritim apabila fokus dalam menjalankan kebijakan Poros Maritim Dunia tersebut.






[1] Untung Suropati, Yohanes Sulaiman, Ian Montratama, 2016, Arungi Samudra Bersama Sang Naga, Jakarta: Gramedia. Hlm. 136
[2] Ibid., hlm. 140
[3] Ibid., hlm. 144
[4] Ibid., hlm. 175
[5] Ibid., hlm. 185